(Karya Taufiq Ismail)
Mesin giling menelponku baru-baru ini, bilang bahwa industri elektronika, komponen cip, kimia dasar, seluloid, otomotif, telekomunikasi, alat-alat berat, kereta api, kapal laut dan kapal terbang dalam situasi menyenangkan dan sehat-sehat. Dia tidak berkisah tentang orang-orang yang berhasil menggerek lobang-lobang besar di bawah lantai bank dan rasanya aku sudah tahu jalan ceritanya,
Aspal bertanya kepada saya apa hubungan semua ini dengan kesenian. Seorang anak kecil yang jadi joki jam sembilan pagi di jalan Thamrin cepat menjawab, “oom aspal, kesenian itu bagian dari kebudayaan, ekonomi bagian dari kebudayaan, sehingga mengacungkan jari di tepi jalan seperti saya ini juga bentuk seni, agar saya dapat uang seribu sebagai joki untuk mendapat ekonomi.”
“Anak bijak, siap gerangan namamu?” tanya saya.
“Ronggowarsito,” jawabnya segera
“Ah, kamu,” kata saya. Dia bersiul-siul.
“Siapa namamu?”
“Ronggowarsito,” jawabnya pelan. Dia bersiul-siul, lalu mengumam lagu.*)
Jaman Edan
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersaning Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
Zaman Edan
Hidup di zaman edan
Suasana jadi serba sulit
Ikut edan tak tahan
Tak ikut
Tak kebagian
Malah dapat kesengsaraan
Begitulah kehendak Allah
Sebahagia-bahagia orang lupa
Lebih bahagia orang sadar dan waspada
Kemudian saya berjalan dengan sahabatku Ronggo ke pekuburan di pinggiran kota, suram berkabut suasananya, kambojanya kering-kering kulit dahannya, rumpun bambunya gemersik ditegur angin yang kurang bersemangat melakukan tiupannya, aneh aku berpikir tentang di mana gerangan mahkamah pengadilan ketika melihat nisan berjajar, ada yang bertulisan R.I.P., ada yang berkaligrafi alif-lam-wau-alif-lam-ra, dan kubaca nama Abadi, Pedoman, Indonesia Raya, KAMI, Sinar Harapan, Prioritas, Tempo, editor, DeTik. Di mana alamat mahkamah pengadilan, berapa nomor teleponnya dan tolong beri saya nomor faksimilenya? Edan.
Lalu saya mengingat Perburuan, Mastodon dan Burung Kondor, Wasdri, Sam Pek Eng Tay, Opera Kecoa, Pak Kanjeng, Demi Orang-orang Rangkasbitung, dan demikian panjang daftar pencekalan, yang penjelasannya pada satu meja berbunyi A, di meja lain A-aksen, di meja berikutnya A-dua aksen. Edan.
Kemudian debu Galunggung, Kedung Ombo, SDSB, Gamalama, Liwa, Nipah, Timor Timur, Marsinah yang masuk kubur, keluar kubur dan masuk kubur lagi, Palestina, Bosnia, Chechnya yang tiada reda-redanya. Edan.
Memasuki mesin waktu saya berlari bersama sahabatku Ronggo menghindari badai prahara yang memutar suasana, menjepit dan menggencet semua. Mereka mengejar-ngejar orang, melarang buku, merampoki perpustakaan, menimbun dan membakari buku, memaksakan ideologi seni, membabat penerbit independen dan membawa panji tujuan menghalalkan cara. Kemudian prahara reda, orang-orang bekerja, tapi ada juga yang mencoba membengkokkan sejarah dan bila diluruskan kembali, ini disebut membalas dendam. Edan.
Mas Ronggo, selamat jalan. Dia melengkapi kendaraan 3-dalam-1. Mas Ronggo, selamat jalan mengais nafkah yang jernih dan bersih …
***
Pidato kesenian ini tidak menuliskan resep manjur untuk pelaksanaan praktikal, dia cuma merangsang beberapa dahan perasaan dan fikiran lewat bentuk puisi. Dia menegaskan akar Indonesia dalam tahun ke-50 usia negeri ini. Dia mencoba mengingatkan bahwa dalam gelombang besar materialisme, keserakahan dan rasa tak acuh pada penderitaan manusia di dunia ini, pemberhalaan terhadap apa pun ditolak. Kesenian kita adalah kesenian yang bermanfaat bagi manusia serta lingkungannya dalam dataran bumi, dan bermakna maksimum dalam garis tegak lurus menuju Yang Maha Pencipta Keindahan. Dalam pelaksanaan kesenian seniman tidak dapat mengasing duduk mencangkung di sebuah pulau alit, atau berjalan sendiri tanpa mengindahkan siapa-siapa. Dia percaya pada bentuk kerjasama dan selalu menghargainya. Dia memerlukan kemerdekaan kreatif, dan untuk itu dia tahu bahwa akan ada kemungkinan benturan. Dia percaya pada hati nuraninya dan yakin pada kekuatan doa. Perasaannya akrab dan lekat pada orang-orang malang dan berkekurangan. Seninya adalah untuk mengingatkan.
– 1995 –
*) Abad 19, Bait ketujuh Serat Kalatida, terjemahan Slamet Sukirnanto